Faktor penentu keberhasilan seseorang bertambah lagi. Kalau dulu kita
hanya mengenal IQ dan seiring berjalannya waktu ditemukan faktor lain
seperti Kecerdasan Emosi (EQ) lalu kecerdasan spiritual (SQ), sekarang
yang tak kalah penting adalah adversity quotient (AQ) atau suatu metode
untuk meningkatkan kemampuan orang menghadapi kesulitan atau hambatan
dan memacu keberhasilan.
Apapun istilahnya, hendaknya setiap orang tua memberikan stimulus,
rangsangan, agar anak mempunyai AQ. Sehingga saat anak berhadapan dengan
hambatan atau kesulitan tak langsung menyerah. Pola asuh orangtua yang
memberikan kemudahan/fasilitas, serba membantu dan menyiapkan, anak tak
dibiarkan melakukan segala kegiatannya sendiri, secara tak langsung
mengajarkan ketergantungan pada anak. Anak juga akan mudah menyerah jika
menghadapi kesulitan lantaran tak terbiasa memecahkan masalah.
Padahal jika anak dilatih bagaimana caranya menghadapi kesulitan,
maka akan terbangun mentalitas anak yang kuat, yakni tidak cengeng,
tidak menyerah menghadapi kesulitan. Misal yang sederhana ketika anak
belajar jalan ia jatuh, ayah/ibu membiarkan dan sekedar merespon
memotivasi anak,”ah jatuuh, ayo bangun lagi anak ibu yang berani,” maka
anak cenderung berusaha bangkit dan jalan lagi tanpa menangis.
Ingat-ingat, bagaimana jika ayah/ibu buru-buru menolong dan merayu-rayu
anak supaya tak menangis, anak justru cenderung menangis karena merasa
dengan menangis ibu/ayahnya tak kan melepaskannya lagi. Contoh lainnya
adalah memberi kesempatan anak untuk mencoba, dan mengajarkan
kemandirian pada anak sejak usia dini.
Agar AQ anak berkembang memang sebaiknya orang tua menjadi model.
Orangtua menjadi contoh bagaimana bentuk dari kecerdasan mental ini,
yakni orangtua menunjukkan sifat tidak mudah menyerah jika menghadapi
kesulitan dan tidak cengeng (misal, tidak suka mengeluh di depan anak),
tidak serba membantu anak (misal selalu menyuapi anak dengan alasan
berantakan dan kotor), dsb.
Kecerdasan ini bisa terus dibangun dan ditingkatkan pada anak.
Pengembangannya bergantung pada masing-masing anak. Sejauh ini belum
terlihat dampak negatif pengembangan kecerdasan ini. Namun harus
diperhatikan juga kapasitas diri anak. Kalau upaya untuk membangun
kemampuan mental anak ini tak mengukur kemampuan diri akan membuat anak
frustrasi. Penulis: Dra. Rose Mini AP. MpSi
Bermental Baja = Kecerdasan Adversitas
Ada banyak faktor yang menentukan kesuksesan. Salah satu faktor
penentu yakni Adversity Quotient (AQ), dalam bahasa sederhananya bisa
diartikan sebagai kecerdasan mental. Dibilang kecerdasan mental lantaran
dalam hidup manusia pasti akan menghadapi hambatan, kesulitan bahkan
mungkin kegagalan. Jika seseorang memiliki mental kuat, ia menjadi tahan
banting, tak mudah frustasi dan menyerah, tetapi bangkit lagi dan
berusaha mengatasi kesulitan yang dihadapinya.
Paul G. Stoltz Phd, konsultan bisnis yang sudah dikenal secara
internasional, penulis buku Adversity Quotient “Mengubah Hambatan
menjadi Peluang” meyakini, bahwa faktor ini lebih signifikan daripada
IQ, pendidikan, atau keterampilan sosial. Kemampuan seseorang dalam
mengatasi kesulitan diukur dengan AQ.
Apa sebenarnya AQ? Menurut Paul yang juga president of peak learning
incorporated dan meraih gelar doktor dalam bidang komunikasi dan
pengembangan organisasi, adalah seperangkat instrumen untuk membantu
seseorang agar tetap gigih melalui saat-saat yang penuh tantangan.
Apalagi tantangan saat ini dan yang akan datang (yang akan dihadapi
anak-anak kita ketika dewasa nanti) tentu akan lebih besar dan
membutuhkan kemampuan dan mental yang kuat atau tahan banting
(hardiness).
Orang yang tahan banting kata Paul, tidak akan terlalu menderita
terhadap akibat negatif yang berasal dari kesulitan. Kemampuan ini kata
Paul harus dibangun sejak seseorang masih kanak-kanak. Sayangnya,
sejumlah penelitian yang dilakukan Seligman, Dweck, dan lainnya, justru
menunjukkan bahwa sikap tak berdaya telah diajarkan pada anak-anak sejak
dini. Ibu/ayah yang melakukan semuanya untuk putrinya secara tidak
sengaja telah mengajarkan ketidakberdayaan dengan tidak pernah
membiarkan putrinya menghadapi tantangan-tantangannya sendiri. Seorang
guru yang mengajarkan pada murid perempuan bahwa mereka gagal karena
tidak memiliki kemampuan alias bodoh, dan mengatakan pada murid
laki-laki, mereka gagal karena tidak memiliki motivasi. Padahal itu
alasan sementara dan bisa berubah.
Pola asuh dan pola didik yang mengajarkan ketakberdayaan itu kata
Paul bisa diputus dan diubah secara tetap dengan cara-cara yang dapat
membangun kekuatan mental dan daya juang anak. Di antara caranya adalah;
dengan mengajarkan keberdayaan sejak masih usia dini; dalam menjelaskan
segala sesuatu orangtua harus selalu optimis bukan pesimis. Akibatnya
di masa anak dewasa menurut Paul adalah, dapat meningkatkan kinerja,
produktivitas, energi, motivasi, kemauan untuk belajar, kreativitas,
keberanian mengambil risiko, kesehatan, keuletan dan ketekunan. Nah,
siapa yang tak mau anak kita memiliki kemampuan demikian? (Mira
Nurhayati/Dew)
Kiat Membangun Mental Baja
Untuk membangun mental yang kuat dan tahan banting, beberapa hal ini patut dicoba:
1. Mengembangkan Panca Indra
Kesulitan ada di mana pun. Ketika anak masih kecil, ia
mengalami berbagai kesulitan. Ada temannya yang suka mengejeknya atau
bahkan memukulnya, jatuh dari tangga, dicakar kucing kesayangannya,
kesulitan dalam pelajaran, dimarahi guru, ingin memiliki mainan tertentu
tapi Anda tak membelikannya, dsb.
Kesulitan-kesulitan itu bukan tak ada jalan keluarnya. Anda
bisa mengasah panca indranya untuk tajam melihat kesulitan yang mungkin
menghadangnya. Misalnya, minta anak memperhatikan teman-temannya yang
usil atau nakal terhadapnya dan mengamati kapan biasanya ia mulai usil.
Atau, jika dimarahi guru karena tak membuat PR, maka ingatkan anak untuk
selalu mengerjakan PR-nya, jika tak mengerjakannya, ia harus punya
jawaban mengapa ia tak mengerjakannya dan siap dengan konsekuensinya.
Ingin memiliki benda tertentu? Mintalah ia berpikir bagaimana
mendapatkannya. Secara tak langsung Anda mengasah indra anak untuk siap
menghadapi kesulitan.
2. Mendukung eksplorasi Anak
Anak-anak, terutama balita, berada dalam masa eksplorasi, ingin
menjajaki segala sesuatu yang menarik perhatiannya. Misal, menarik
buntut kucing yang lewat di depannya, berusaha naik tangga yang
tersandar di dinding rumah, atau main pisau seakan sebuah sendok
layaknya.
Bagaimana menghadapi kelasakan anak yang adakalanya berbahaya?
Melarangnya, mengecam, mengkritik jika berbahaya atau anak gagal
melakukannya? Cara tersebut menurut Paul G. Stoltz bisa menimbulkan rasa
bersalah yang produktif maupun yang tidak produktif. Jika respon Anda
baik, akan timbul rasa bersalah yang produktif, yakni anak bisa
menerimanya, berusaha lebih baik, bahkan membentuk integritas dan
mentalnya. Sedangkan respon negatif–kritik, kecaman misalnya– melahirkan
rasa bersalah yang tidak produktif. Anak bisa tidak mau berusaha lagi.
3. Latihan Menganalisa: Mengapa Gagal?
Daripada mengecamnya lebih baik latihlah anak untuk menganalisa
mengapa ia mengalami kegagalan? Misal, tidak mau maju di depan kelas
untuk menyanyi; tidak bisa membuat untaian manik; menakali temannya;
atau tidak mengerjakan PR nya. Mengapa demikian? Dari jawaban anak Anda
bisa mengajaknya mencari jalan keluar dari masalahnya.
4. Motivasi: Kamu Bisa!
Paul menengarai bahwa pola asuh orangtua kerap menghambat
perkembangan anak. Seperti pengasuhan yang serba melayani kebutuhan anak
yang membuat anak terbiasa tak berdaya. Di dunia sekolah juga demikian.
Banyak guru yang kurang mampu memotivasi anak didiknya dan memberi
label negatif “Kamu tidak mampu,” “bodoh,” dsb. Cobalah ganti gaya
pengasuhan Anda, beri anak motivasi untuk melakukan segala sesuatunya
sendiri. Bahwa ia bisa, ia punya kekuatan untuk bisa. Jika gagal sekali
misalnya, doronglah untuk mencobanya lagi dan lagi.
5. Harus ada Bukti dari Kegagalan
Anak-anak senang bilang, “aku nggak bisa. Mama saja deh yang
melakukan.” jangan terpancing rengekan anak. Tegaskan bahwa ia harus
membuktikan kalau ia tidak bisa atau ia bisa. Anda bisa lengkapi
permintaan Anda dengan bukti bahwa anak-anak yang dilahirkan cacat
(tanpa tangan kaki misalnya) ternyata bisa menulis, makan, atau
melakukan kegiatan lain yang dilakukannya sendiri.
6. Selalu optimis
Paul meyakini bahwa sikap optimis akan melahirkan orang yang
tahan banting. Sikap optimis akan memberinya kesehatan fisik dan mental
dalam menghadapi berbagai kesulitan. Karena itu, ajarkan anak untuk
selalu optimis dalam semua aktivitasnya maupun keinginan-keinginannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar